Ditulis Oleh bungFerry | |
Friday, 04 August 2006 | |
Selama Piala Dunia bagi umat sepakbola banyak hal yang bisa dipetik dan dipelajari. Kita seperti dibukakan mata dan hati bagaimana sepakbola itu seharusnya dijalankan. Baik dari mulai penyelenggaraan, distribusi tiket, promosi pertandingan, keamanan, penayangan stasiun televisi, penyambutan bagi suporter tamu sampai dengan para pelaku di lapangan seperti pemain, pelatih, wasit dan official. Semua itu seharusnya mampu memberikan dampak positif bagi sepakbola dalam negeri. Hal itu bisa dilihat pada putaran 8 besar Divisi Utama PSSI yang diselenggarakan di dua kota Gresik dan Solo. Banyak kemajuan berarti yang bisa kita lihat : sportivitas para pemain yang senantiasa bersalaman bila terjadi pelanggaran, wasit yang tampak lebih jeli dan tegas terutama di Gresik, keamanan super ketat di Solo baik di dalam stadion maupun penyambutan suporter tamu, hingga para pelatih yang saling adu strategi, membuat seluruh pertandingan menjadi enak dilihat dan menegangkan bagi para penikmat sepakbola nasional. Namun di tengah usaha-usaha untuk memajukan sepakbola ternyata masih ada juga pelaku-pelaku sepakbola yang mencoba mengkhianati nilai-nilai sepakbola itu sendiri. Panpel Gresik bisa kita sebut yang pertama. Seharusnya dengan adanya PSM Makassar dan Persija Jakarta bisa menjadi daya tarik sendiri untuk mendatangkan penonton ke stadion. Faktanya Stadion Tri Dharma Gresik hanya ramai bila Persekabpas bermain karena jaraknya yang dekat Pasuruan. Ancaman, teror dan bahkan penghadangan terhadap suporter PSM dan Persija membuat kedua tim bertanding tanpa dukungan dari suporternya. Pihak Keamanan seharusnya bisa mengantisipasi hal ini dan wajib melindungi semua suporter yang akan datang ke sana. Sangat aneh bila kita melihat 8 besar disana lebih banyak dihadiri oleh suporter yang kesebelasannya sendiri tidak bertanding dan bahkan berada di divisi yang berbeda. Bonek menjadi pengkhianat berikutnya. Didahului dengan Ikrar Damai di Surabaya, adegan berikutnya yang mereka buat adalah penghadangan di Stadion Tri Dharma. Sulit rasanya bisa menerima alasan bahwa mereka bukan anggota atau spontanitas saja. Jumlahnya yang mencapai ratusan hingga aksi sweeping yang dilakukan di hampir seluruh kota Gresik dengan menggunakan kendaraan motor dan mobil menjadi fakta bahwa hal itu memang sudah terorganisir dan dipersiapkan sebelumnya.
Diam, pasrah, menyesali nasib, takut akan kegagalan, adalah sikap orang-orang kalah. Tidak ada kemajuan tanpa ada rintangan. Tak ada keberhasilan yang jatuh dari langit. Segala pengkhianatan itu harus dianggap sebagai tantangan. Introspeksi diri, mempelajari segala usul dan kritikan, serta senantiasa membuka diri untuk berdialog adalah nilai sepakbola itu sendiri yang selalu berusaha mendapatkan kemenangan dengan cara yang sportif. Sekarang masyarakat Indonesia sedang menanti episode apalagi yang akan mewarnai perjalanan sepakbola kita.
| |
Pemutakhiran Terakhir ( Wednesday, 01 November 2006 ) |
Kamis, 20 Mei 2010
Pengkhianatan Sepakbola
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar